• Label

    Copyright © DETIK NUSANTARA NEWS
    Best Viral Premium Blogger Templates

    SSGI Bukan Sampradaya, Alit Nusantara Sebut Mestinya Sudah Tutup Buku Polemik Sampradaya dan Dresta Bali

    Sabtu, 18 Desember 2021, Desember 18, 2021 WIB Last Updated 2021-12-17T18:45:35Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini


    Bali | Wakil Ketua SSGI,  I Ketut Alit Priana Nusantara, SH.,C.L.A., yang akrab disapa Alit Nusantara menginginkan sebuah forum diskusi atau dialog dengan pihak-pihak yang bertentangan dengan organisasinya, untuk menyudahi polemik sampradaya dan dresta Bali. Bahkan, dirinya mempersilahkan adanya pihak penggagas yang membentuk Tim Pencari Fakta atau apalah istilahnya, biar bisa dibuatkan kajian ilmiah, agar bisa dicarikan solusinya. 

    "Kami inginkan forum dialog/diskusi, agar hal yang tidak benar, tolong diarahkan untuk menjadi benar. Jadi, kami ada pegangan. Atau ada kegiatan lainnya dalam konteks Bali, kok keliatannya tidak pas, bisa ditegur, agar kita bisa berbenah," ungkap Alit Nusantara.

    Saat dikonfirmasi awak media, pada Jumat (17/12/2021), Alit Nusantara selaku Managing Partners & Counsellor Bali Legal Service (BLS) Law Office, I Ketut Alit Priana Nusantara, SH.,C.L.A., yang berkantor  di Komp. Pertokoan Alamanda, Jl. Raya Batubulan No. 63 D, Kabupaten Gianyar menjelaskan, keberadaan forum diskusi tersebut, diharapkan bisa menjawab kegamangan pemahaman masyarakat terhadap keberadaan SSGI atau Sai Study Group Indonesia. 

    "Banyak juga masyarakat yang tidak tahu tentang keberadaan kami. Mereka bilang benar, yang belum tentu hal itu benar menurut kami, tanpa paham penjelasannya. Kalau ngomong citra sangat terdampak ke organisasi kami," bebernya.

    Lebih lanjut, Alit Nusantara juga mengingatkan, agar pemerintah dan pihak-pihak terkait, segera secepatnya menyelesaikan polemik sampradaya, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat, mengingat  sebegitu lamanya berpolemik sampai membesar isunya hingga kini, namun, belum ada tanda-tanda penyelesaiannya.  

    "Memang tidak bisa di media sosial diselesaikan, namun, bisa lewat banyak jalur, contohnya melalui anggota Dewan, misalnya di DPR RI Komisi VIII  atau lewat jalur pemerintahan yang menangani masalah ini. Kami siap dipanggil untuk diajak duduk bersama serta berdiskusi," terangnya.

    Lanjut Alit Nusantara, jika memungkinkan, polemik sampradaya bisa dicarikan solusi bersama, sehingga tidak terus menjadi konsumsi publik. Terlebih lagi, diberikan batas-batas atau rambu-rambunya, Alit Nusantara meyakini polemik sampradaya tak berkepanjangan, mestinya telah tutup buku. 

    "Padahal ini bisa jadi forum diskusi dengan baik, untuk mencari solusi bersama dan tidak menjadi polemik berkepanjangan. Kita bisa uji data, fakta serta dokumen dan semua track record diuji. Tetapi, bukan berarti tidak ada hal-hal yang memang menjadi sorotan. Kita memang menyadarinya. Namun, bisa dicarikan solusinya," jelas Alit Nusantara.

    Berikutnya, konteks Dresta Bali terkadang dirasakan tidak tepat penggunaan istilahnya. Menurut Alit Nusantara, dikarenakan, semua orang Bali tinggal di masing-masing desa adat sebagai acuannya, yang terikat dengan "Awig-Awig Desa Adat".

    "Sepanjang pengamatan kami, warga/krama itu melanggar "Awig-Awig Desa Adat" atau tidak. Khan disana acuannya, dilihat dari "Awig-Awig Desa Adat"," sebutnya.

    Kemudian, Alit Nusantara memaparkan, bahwa Sai Study Group Indonesia atau disingkat SSGI merupakan organisasi yang yang lebih condong bergerak dalam bidang aksi kemanusiaan dan pendidikan serta lingkungan.

    "Jadi, sekitar 90% kegiatan kami ada di ketiga bidang tersebut. Satu yang nyeleneh khan kegiatan ritualnya yang disangka ke India-Indiaan. Khan ini yang nyeleneh. Dulu saya berpikir ini dilokalisir, agar kita bisa menyesuaikan diri. Kalau yang lainnya, khan tidak ada persoalan, seperti aksi kemanusiaan, sekolah dan aksi donor darah serta klinik kesehatan atau aksi Sai Green. Jadi, kegiatan itu tidak ada masalah. Terus isu yang selanjutnya berkembang belakangan, isu ritualnya. Awalnya dilihat sebagai ancaman terhadap tradisi budaya Bali. Kita coba buat dan dokumentasikan kegiatannya, selesai isunya. Setelah itu, masuk isu infiltrasi asing serta ideologi dan lain-lainnya. Terus disajikan dokumennya dan bergeser hingga terakhir isu benturan dengan manusianya. Ada memang isu yang dikelola dengan cukup baik, tetapi dia akan terus bergerak. Saya lihat sepertinya ada lintas kepentingan yang tentunya terkonsentrasi disana," imbuhnya.
     
    Selain kegiatan ritual, pihaknya telah bekerjasama dengan pemerintah, LSM dan komunitas-komunitas lainnya, melakukan aksi kegiatan yang bermanfaat bagi kemanusiaan hingga kini, seperti Sai Rescue bekerjasama dengan Basarnas, yang sudah menjalin hubungan kerjasama dengan sangat baik. Bahkan, mereka dilatih menjadi relawan ring satu demi aksi kemanusiaan. 

    Soal kesehatan, pihaknya mempunyai klinik kesehatan yang bekerjasama dengan instansi terkait. Malah disebutkan sekolahnya telah banyak melahirkan prestasi menggembirakan menjadi basis kurikulum. 

    "Dari semua itu, khan perlu dilokalisir. Ada satu isu yang memang berbeda dampaknya, soal kegiatan ritual bhajan," ujarnya. 

    Disebutkan, jika diterjemahkan, bhajan artinya mekidung, dengan menyebutkan nama-nama Tuhan sesuai dengan Ista Dewata-Nya. Hal ini yang dicari titik temunya, agar kesan yang dibilang meresahkan umat, berbahaya dan merusak serta unsur sejenisnya  bisa dicarikan solusi atau pemecahan masalahnya.

    "Tapi, juga ada paguyuban lainnya yang juga mengenal Sai Baba yang punya cara-cara tertentu. Itu diluar ranah organisasi yang bisa masuk ke rumah tangga orang. Khan kita ketahui ada juga paguyuban tertentu," tambahnya.

    Selain itu, dijelaskan, ada juga istilahnya mesisya dengan ada pendetanya. Maka dari itu, pihaknya dari SSGI terus mengkaji tentang nilai kebenarannya. Sampai pada suatu kesimpulan, disebutkan SSGI bukan sampradaya. Karena, untuk menjadi sampradaya itu, tolak ukurnya ada tempat kegiatan belajar. Namanya orang belajar atau sekolah, setelah tamat dan diwisuda serta diinisiasi, yang kemudian mendapatkan gelar, nama Abhiseka dan memiliki Ista Dewata khusus.

    Bahkan, Alit Nusantara menegaskan, SSGI tidak ada sistem inisiasi, seperti garis perguruan dan tidak memiliki program kesulinggihan atau menciptakan pendeta. Apalagi tidak ada pola sistem aguron-guron.

    Bahkan, dengan tegas, Alit Nusantara menyebut dirinya masih tetap sama dan dipanggil "Bro" oleh teman-temannya untuk menunjukkan kesetaraannya.

    "Saya sendiri, jika menyebut sekolah, sejak tahun 1994 mengenal SSGI tidak juga tamat dan tidak diinisiasi serta tidak meprucut sampai sekarang. Jadi, kita tidak punya platform masuk sekolah dan mengikuti jenjang tingkatannya, yang nantinya tamat hingga dapat nama dan gelar. Memang di SSGI itu tidak ada seperti itu. Diibaratkan, sejak bergabung, saya tetap pemegang sabuk putih, tidak pernah naik tingkat menjadi merah, coklat apalagi hitam. Saya masih orang yang sama, meskipun dalam organisasi mengenal jabatan struktural," tegasnya.

    Alit Nusantara juga mengungkapkan tentang keberadaan SSGI, yang merupakan organisasi induknya dinyatakan resmi dan berbadan hukum. Bahkan, Alit Nusantara merasa bersyukur pernah ikut terlibat menyusun platformnya. Mengingat, SSGI sebagai tempat studi yang menggali nilai-nilai ajaran Sai, sehingga dinamakan Sai Study Group.

    Lebih lanjut, Alit Nusantara memaparkan, sesuai dengan namanya, SSGI adalah tempat belajar atau study. Bagi yang aktif di media sosial, Alit Nusantara menyarankan, ada baiknya membaca AD/ART, GBHO atau Buku Sakunya terlebih dahulu. “Dirasa penting agar pergunjingan dan gosip merujuk pada sumber yang benar,” tegasnya.

    Soal polemik di media sosial, pihaknya tidak mau merespons secara berlebihan. "Karena, platform kami tidak begitu. Kita belajar di Sai tidak untuk begitu. Kita berkomentar baik saja dianggap sok bijak, apalagi berkomentar keras," tandasnya.

    Soal unsur yang mengganjal atau ketidaknyaman dari SSGI, Alit Nusantara juga mengungkapkan, sesuai hasil temuan setelah berdiskusi dengan rekan-rekan di SSGI, disebutkan kesan di masyarakat, kalau sudah ikut serta Sai Baba, stigmanya disebut nyeleneh.

    "Stigma nyeleneh. Itu membuat kita tidak nyaman. Beda orang, beda cara membawa diri dan beda citra kita. Apalagi kita tidak membawa banyak atribut, misalnya cincin atau kalung besar sebagai unsur identitas. Malah kita polos-polos saja," bebernya.

    "Istilah Bali disebut paling len (paling lain) dan juga pelih (salah). Stigmanya begitu. Kena disalahnya saja. Kadung sudah mecolek pamor disebut ancaman tradisi budaya Bali. Disatu sisi dilihat sebagai ancaman dan disisi lainnya dianggap sebagai aset. Jika aset itu dilihat dari kegiatan-kegiatan kita. Itu berkontribusi bagi kepentingan masyarakat. Namun, jika dilihat framing sebagai ancaman, itu yang sangat mengkhawatirkan. Bagaimana yang sekiranya yang dianggap berpotensi kesana, itu yang dicarikan solusinya.  SSGI sudah cukup panjang keberadaannya  tahun 1994. Kok malah panasnya baru meletup sekitar 6 bulan terakhir," pungkasnya. (ace).
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini