• Label

    Copyright © DETIK NUSANTARA NEWS
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Laut Sebagai Pusat Peradaban Ekonomi Biru: Catatan Dari Forum UNOC 2025

    Kamis, 26 Juni 2025, Juni 26, 2025 WIB Last Updated 2025-06-26T07:31:40Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini



    Foto : Muhammad M Said
    Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan IKA PPSA LEMHANNAS RI.

    Media DNN - Jakarta | Beberapa hari terakhir, media nasional dan internasional merilis kabar menggembirakan mengenai peran aktif delegasi Indonesia dalam Konferensi Laut PBB ke-3 (UNOC 2025) di Nice, Prancis. 

    Delegasi yang dipimpin oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, Ketua Komisi IV DPR RI Titiek Soeharto, serta tokoh maritim dan akademisi Prof. Rokhmin Dahuri dan Ibu Alin Mus, tampil bukan sekadar sebagai peserta, melainkan sebagai aktor transformasi global. Mereka membawa semangat kuat dalam menyuarakan pentingnya konservasi laut dan penguatan ekonomi biru berkelanjutan.

    Dalam forum tersebut, Indonesia menegaskan posisinya sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai sepanjang 95.000 km. Delegasi kita menyuarakan suara negara-negara berkembang yang selama ini terpinggirkan dalam tata kelola laut dunia. 


    Di tengah dominasi narasi negara maju, Indonesia menunjukkan bahwa laut bukanlah pemisah, tetapi pemersatu. 

    Semangat Deklarasi Djuanda tahun 1957 kembali digaungkan sebagai simbol kedaulatan dan diplomasi maritim Indonesia di panggung global.

    Ekonomi Syariah untuk Keadilan Ekonomi Biru, Ekonomi syariah, sebagai sistem nilai yang mengintegrasikan dimensi insaniyah dan ilahiyah, telah berkembang melampaui batas negara dan agama. 

    Sistem ini menawarkan pendekatan alternatif terhadap pengelolaan sumber daya alam, termasuk laut, yang menekankan prinsip keadilan, keberlanjutan, dan kemaslahatan publik (maslahah ‘ammah). 

    Dalam konteks ekonomi biru, ekonomi syariah tidak memandang laut semata-mata sebagai komoditas, tetapi sebagai amanah ilahiyah yang harus dikelola secara beretika dan inklusif.

    Konsep ini sejalan dengan prinsip ‘bunyanun marshush’ dalam Al-Qur’an—ibarat bangunan yang kokoh dan saling menopang (QS. Ash-Shaff: 4). Keterhubungan antara manusia, laut, dan lingkungan digambarkan seperti jaring laba-laba: ketika satu simpul terganggu, dampaknya menjalar ke seluruh sistem. 

    Maka dari itu, pengelolaan laut tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai etis, spiritual, dan sosial.

    Ketika Prof. Rokhmin Dahuri menyerukan pentingnya akses teknologi, pembiayaan hijau, dan pemberdayaan masyarakat pesisir, hal ini sejalan dengan semangat Islam dalam memberdayakan kelompok mustadh’afin (yang dilemahkan secara ekonomi) serta mendistribusikan kekayaan alam secara adil. 

    Menurutnya, tata kelola ekonomi biru yang berlandaskan syariah mengedepankan prinsip etika ekonomi, distribusi yang merata, dan keberlanjutan ekologi.

    Diplomasi Maritim Indonesia dan Arah Kebijakan Global Indonesia melalui forum UNOC 2025 menghidupkan kembali semangat Deklarasi Djuanda dalam konteks global, menyuarakan bahwa laut adalah bagian integral dari kedaulatan bangsa dan harus menjadi platform diplomasi maritim untuk menciptakan tatanan dunia yang adil.

    Dalam kerangka ekonomi biru syariah, laut bukan hanya sumber pangan, energi, dan pariwisata, tetapi juga ruang strategis untuk diplomasi, keadilan ekologis, dan transformasi sosial. 

    Delegasi Indonesia menegaskan bahwa penguatan masyarakat pesisir harus menjadi kebijakan publik pro-rakyat, agar mereka tak hanya menjadi penonton, melainkan penjaga garda depan kedaulatan laut.

    Beberapa poin penting yang dapat diambil dari UNOC 2025. Pertama, mendorong kerja sama internasional untuk memerangi perburuan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak terkontrol (IUU Fishing), yang merusak ekosistem laut dan merugikan negara-negara pesisir. 

    Kedua, komitmen memperluas Kawasan Lindung Laut sebesar 30% pada tahun 2030 untuk menjaga biodiversitas dan keberlanjutan laut. 

    Ketiga, pengurangan polusi plastik melalui strategi ekonomi sirkular dan insentif industri ramah lingkungan. Keempat, penguatan masyarakat pesisir sebagai pilar utama pengelolaan laut berbasis kearifan lokal dan partisipatif. 

    Kelima, dukungan terhadap tata kelola laut yang adil, dengan prinsip tanggung jawab global dan pengakuan terhadap kedaulatan negara.
    Indonesia bukan lagi negara pesisir yang pasif, tetapi telah menjelma menjadi nakhoda perubahan dalam arus besar geopolitik kelautan dunia. 

    Dalam konteks UNOC 2025, Indonesia menunjukkan bahwa kekayaan laut yang kita miliki disertai dengan visi besar untuk menjadikan laut sebagai pusat peradaban baru—bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga spiritual, sosial, dan ekologis.

    Ketika negara-negara maju berlomba membangun narasi ekonomi hijau, Indonesia justeru telah melampui tampil dengan aksi nyata, menghubungkan keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kedaulatan maritim dalam satu simpul perjuangan global. 

    Ini bukan hanya strategi diplomasi, tetapi manifestasi dari jati diri bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan keberlanjutan. (BosBro).
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini