masukkan script iklan disini
Foto : Wakil Gubernur Bali, menghadiri upacara sakral Rsi Yadnya Munggah Madwijati atau Madiksa atas Ida Bhawati Pasek I Gede Putu Budi Utama dan Ida Bhawati Pasek Istri Ni Wayan Ruji, di Griya Taman Sri Wandira Giri Asrama, Banjar Celuk, Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Buleleng.(09/06)
Media DNN — Bali | Wakil Gubernur Bali, menghadiri upacara sakral Rsi Yadnya Munggah Madwijati atau Madiksa atas Ida Bhawati Pasek I Gede Putu Budi Utama dan Ida Bhawati Pasek Istri Ni Wayan Ruji, di Griya Taman Sri Wandira Giri Asrama, Banjar Celuk, Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Buleleng.(09/06)
Wagub Bali Nyoman Giri Prasta, menegaskan peran sentral para sulinggih sebagai pelita zaman dan penjaga spiritualitas Hindu Bali.
Dalam kapasitasnya sebagai ketua majelis Alit Pasemetonan Pasek Sanak Sapta RSI (MGPSSR) Provinsi Bali, Giri Prasta menekankan Pentingnya ajaran Catur Bandana Dharma sebagai pedoman hidup bagi para sulinggih atau tokoh spiritual Hindu yang telah menjalani Upacara Madwijati
“Ada empat ikatan utama dalam kehidupan kerohanian sulinggih: Amari Wesa (etika berpakaian), Amari Aran (pengukuhan nama suci), Amari Sesana (perubahan perilaku), dan Maguru Susrusa (pengabdian kepada guru spiritual),” ujarnya di hadapan para undangan.
Giri Prasta juga menyampaikan rasa hormat dan penghargaan kepada kedua Bhawati, seraya berharap mereka dapat menjadi sumber pencerahan dan panutan spiritual bagi umat Hindu di Bali.
Lebih dari sekadar seremoni keagamaan, ia memanfaatkan momen ini untuk menyerukan pentingnya pelestarian adat, tradisi, dan budaya Bali di tengah derasnya arus perubahan zaman.
“Saya sangat memahami perjuangan umat Hindu yang mencurahkan waktu, tenaga, dan biaya untuk pelaksanaan adat dan agama. Ini adalah investasi spiritual untuk warisan anak cucu,” tegasnya.
Kepada para semeton Pasek, ia menyampaikan pesan agar senantiasa eling (ingat) pada jati diri, serta menjalankan ajaran Catur Swadarma dan Sesana Kepasekan — mencakup bakti kepada Ida Hyang Widhi Wasa, kawitan, bhisama, dan menjalin kebersamaan antarsemeton.
“Pasek sejati itu subhakti kepada Ida Hyang Widhi Wasa paling utama, saling sumbah karena satu Hyang Kawitan, masidikara duduk sama rendah berdiri sama tinggi, dan saling parid, yakni satu gelas kopi bisa berbagi,” ucapnya, menggugah semangat persaudaraan dalam napas kePasekan.
Ketua MGPSSR Buleleng, Gede Sumenasa, dalam laporannya menyebutkan bahwa upacara ini menandai calon sulinggih ke-72 yang madiksa di Buleleng. Jumlah itu segera bertambah menjadi 75 pasang. Ia juga memaparkan program pelayanan keumatan, seperti pembangunan krematorium adat di Banyu Alit.
Sementara itu, Ketua PHDI Buleleng, Gede Made Metere, menegaskan pentingnya tahapan Diksa sebagai kewajiban spiritual umat Hindu.
“Sistem Diksa yang dikembangkan oleh MGPSSR saat ini adalah yang paling mapan, mulai dari pendidikan pemangku tingkat dasar hingga pengesahan sulinggih. Semua melalui proses yang ketat dan berjenjang,” ungkapnya.
Jika umat belum sempat menjalani Diksa semasa hidup, lanjutnya, warisan leluhur Bali telah menyediakan prosesi Ngaskara saat ngaben sebagai bentuk penyucian spiritual yang setara.
Upacara turut dihadiri oleh Bupati Buleleng, Nyoman Sutjidra, Dandim 1609/Buleleng Letkol Kav Angga Nurdyana, serta sejumlah tokoh masyarakat. Acara juga dirangkaikan dengan penyerahan Surat Keputusan Izin Madiksa dari PHDI Kabupaten Buleleng kepada kedua Bhawati.
Rsi Yadnya bukan sekadar prosesi spiritual, melainkan peneguhan nilai-nilai luhur yang terus menyala sebagai pelita bagi umat Hindu Bali dalam menghadapi tantangan zaman.(Hms/red).