masukkan script iklan disini
Media DNN - Kalbar | Pernyataan keras Wakil Gubernur Kalimantan Barat, Krisantus Kurniawan, saat membuka Pekan Gawai Dayak (PGD) ke-39 di Pontianak, menggegerkan publik dan pelaku usaha sektor ekstraktif. Dalam pidatonya, Krisantus menyindir perusahaan sawit dan tambang yang selama ini menikmati hasil kekayaan bumi Kalbar, namun minim kontribusi terhadap pembangunan daerah.
“Jangan cuma datang bawa alat berat, ambil hasil hutan dan tanah kami, lalu tinggal pergi. Rakyat tidak butuh janji, rakyat butuh bukti,” kata Krisantus, disambut tepuk tangan meriah ribuan warga adat yang memadati lokasi PGD, Jumat lalu.
Pernyataan itu menuai tanggapan luas. Salah satunya datang dari akademisi Universitas Panca Bhakti Pontianak, Dr. Herman Hofi Munawar. Ia menyebut ucapan Wagub bukan sekadar retorika politis, melainkan cerminan akumulasi kekecewaan publik terhadap praktik bisnis yang abai terhadap keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
“Kalbar dijadikan lumbung pengambilan hasil, tapi bukan tempat ditanamkan tanggung jawab,” ujar Herman saat ditemui Minggu, 25 Mei 2025.
Menurut Herman, saatnya pemerintah daerah mengambil sikap tegas terhadap korporasi besar, terutama yang bergerak di sektor sawit dan pertambangan, agar tidak hanya mengeruk sumber daya alam tetapi juga menanamkan manfaat bagi masyarakat lokal. Ia menyebut investasi harus bersifat mutualistik—saling menguntungkan, bukan eksploitatif.
CSR Tak Menyentuh Akar Masalah
Herman mengkritik praktik Corporate Social Responsibility (CSR) yang selama ini dianggap formalitas belaka. “Program CSR yang dijalankan belum menyentuh akar kebutuhan masyarakat. Banyak yang sifatnya seremoni, tidak menyelesaikan persoalan struktural,” tegasnya.
Padahal, kata Herman, kewajiban sosial perusahaan telah diatur secara tegas dalam berbagai regulasi. Di antaranya, Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 yang menegaskan pelaksanaan CSR sebagai keharusan hukum.
Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan tanggung jawab sosial dan ekologis kepada setiap investor.
“Selama ini, perusahaan hanya menyetor pajak dan retribusi, padahal yang dibutuhkan adalah kontribusi nyata seperti pembangunan infrastruktur, beasiswa, layanan kesehatan, hingga penyerapan tenaga kerja lokal,” ujar Herman.
Momentum Penegakan Keadilan Daerah
Ia menilai pernyataan Wagub sebagai momentum penting untuk melakukan koreksi total atas relasi timpang antara daerah dan korporasi besar. Terlebih, banyak wilayah di Kalbar menghadapi kerusakan lingkungan, konflik agraria, serta marjinalisasi masyarakat adat akibat ekspansi sawit dan tambang.
“Kalau perusahaan hanya datang mengambil, tapi tak memberi kembali, itu bentuk ketidakadilan struktural. Pemerintah harus hadir sebagai pelindung rakyat, bukan pelayan modal,” tandasnya.
Herman mendorong evaluasi menyeluruh terhadap izin dan dampak operasional perusahaan. Ia menegaskan, daerah punya hak untuk menuntut keadilan atas pemanfaatan sumber daya alamnya.
“Ini bukan sekadar sikap politik. Ini soal martabat, hak hidup, dan masa depan Kalimantan Barat,” pungkasnya. (Red).