masukkan script iklan disini
Media DNN - Bali | Jika diulas balik berdasarkan Naskah Lontar-Lontar dan ingatan sejarah, masyarakat Bali sesungguhnya telah mengenal Wabah sejak Zaman Lampau, demikian dijelaskan oleh Jro Mangku Suardana (46) salah seorang Pemangku di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi, Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali, sehari sebelum hari raya Nyepi Tahun Saka 1944, tepatnya saat upacara Pangerupukan, pada Rabu (2/3/2022).
Menurutnya, adapun kosa kata Wabah yang tersurat dalam berbagai Lontar Usada Bali (Lontar Pengobatan) diantaranya :
Pertama adalah Merana. Kata ini berarti Wabah, baik Wabah yang menyerang tumbuhan, hewan, dan manusia.
Kedua adalah Gering Agung, kata ini berarti terserang Wabah penyakit menular, yang datangnya bisa sesuai musim. Sementara dalam Lontar Usada Manut Sasih, disini mengelompokkan berbagai penyakit menular sebagai sakit musiman yang memiliki siklus, dan sakit yang datang dalam pancaroba yang panjang, cuaca tidak menentu, berlaku lokal serta global (Gumi Kageringan).
Ketiga adalah Gerubug, artinya Wabah yang menelan kematian secara mendadak dan serempak, tidak ditemukan gejala lama, langsung mewabah dan menewaskan. Kata gerubug bisa dipakai ketika ternak mati mendadak serempak, dan juga kematian manusia yang terjadi secara serempak dan mewabah.
Keempat adalah Sasab, yakni Wabah demam menular yang mematikan, menular secara cepat, dan sebagainya.
"Istilah gerubug disebut dalam Lontar-Lontar Bali. Dari sekian banyak Lontar Usada di Bali, seperti Usada buduh, Usada Rare, Usada Kacacar, Usada Tuju, Usada Paneseb, Usada Dalem, Usada Ila, Usada Bebai, Usada Ceraken Tingkeb, Usada Tiwang, Usada Darmosada, Usada Uda, Usada Indrani, Usada Kalimosada, Usada Kamarus, Usada Kuranta Bolong, Usada Mala, Usada Rukmini Tatwa, Usada Smaratura, Usada Upas, Usada Yeh, Usada Buda Kecapi, Usada Cukil Daki, Usada Kuda, Usada Pamugpug, dan Usada Pamugpugan, serts masih banyak yang lainnya. Kita mengenal ratusan penyakit (Gering) yang pernah menimpa masyarakat Bali. Lontar-Lontar ini adalah bukti kalau Bali pernah terpapar berbagai Wabah dan salah satunya yang sangat ditakuti adalah Gerubug", jelas Jro Mangku Suar.
Lebih lanjut dikatakannya, Lontar Taru Pramana adalah salah satu Lontar yang disebutkan sebagai ajaran suci dari Bhatari Ghori (Durga) yang diturunkan kepada Mpu Kuturan. Ketika dunia dilanda Gerubug, dunia dilanda Wabah Cakbyag (mati di tempat) yang memakan korban sebagian warga.
Dalam suasana itu, sedih dan tergerak hati Mpu Kuturan. Beliau kemudian melakukan Tapa memuja Bhatari agar diberi kekuatan penyembuhan. Ajaran yang diterima dalam Tapa itulah, yang kemudian disurat dan dikenal sebagai Lontar Taru Pramana.
Dalam Lontar ini, disebutkan setidaknya ada 202 tumbuhan di sekitar kita yang bisa dijadikan tamba (obat) mujarab, dan bisa dipakai ketika masyarakat dilanda wabah.
Berikut, terekam dalam Geguritan Jayaprana. Di dalam Geguritan ini, bukan hanya khayalan penduduk, dan bukan hanya cerita sebelum tidur biasa. Ini adalah rekaman peristiwa dimana Wabah Penyakit Menular yang sempat menghancurkan kehidupan di masa lalu. Kejadian ini yang lokasi kejadiannya di Desa Kalianget, kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Ingatan komunal inilah yang kemudian dirangkai dalam kisah yang terus dikenang dalam Cerita Rakyat, seperti Drama Gong atau seni pertunjukan lainnya, dan diabadikan secara tertulis dalam Lontar Geguritan Jayaprana.
Tidak jauh dari Desa Kalianget, juga terdapat kisah cerita rakyat asal usul nama Desa Sidatapa, yang mempunyai kenangan tentang Wabah dan menghancurkan Desanya. Mereka menyebutnya sebagai Gering Grubug Bah Bedeg. Menurut cerita orang-orang tua, ketika itu ada Wabah Besar terjadi di Desa Sidatapa. Secara temurun dikisahkan, dahulunya Desa Sidatapa bernama Desa Gunung Sari. Cikal bakalnya, ada kelompok keluarga yang terpisah-pisah tinggal di kawasan Pedusunan Leked, Kunyit dan Sengkarung. Ketiganya ini bergabung membentuk Desa yang dinamakan Desa Gunung Sari. Tidak dikisahkan setelah berapa tahun kemudian, Desa yang tenang ini berubah mencekam. Banyak kematian tiba-tiba. Warga ketakutan. Kematian terjadi secara tiba-tiba dan tidak masuk akal ini, hingga datang seorang Pertapa membantu. Setelah sang Pertapa memasuki alam Tapanya, Beliau mendapat petunjuk dan berhasil menyelamatkan sebagian warga yang terkena Wabah. Disinilah, Desa ini kemudian namanya diganti menjadi Desa Sidatapa. Dimaksudkan sebagai Desa yang selamat karena seorang Pertapa, 'Siddha’ (berhasil) melakukan 'Tapa'. Disamping penduduk Sidatapa, di Desa Pedawa juga mengenal kisah Gerubug. Di daerah Barat Desa Kalianget, yakni di Desa Banjarasem dan Kalisada juga mengenal kisah yang sama. Dimana Wabah itu juga dikenal sebagai Gering Bah Bedeg.
Selanjutnya, masyarakat Desa Julah dan juga Sembiran, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, juga punya kisah mendalam tentang Gerubug, Sakit Gede, Bah Bedeg dan Gering Agung, hingga Desa Desa tersebut membuat aturan, jika penduduknya keluar Desa harus membawa Daun Intaran atau Mimba (Azadirachta Indica). Menurut sejarahnya, daun ini menyelamatkan masyarakat Julah dari Gerubug. Sehingga Intaran (Mimba) menjadi tanaman yang wajib ada di setiap rumah masyarakat. Tanaman ini di Julah sangat disakralkan, karena jasanya yang telah menyelamatkan leluhur mereka, dan khasiatnya sampai sekarang terbukti menyembuhkan berbagai penyakit. Intaran terus dipakai sampai saat ini sebagai sarana upacara seperti Tepung Tawar. Bisa juga daunnya diusapkan di tangan sebagai Antiseptik untuk mematikan Bakteri.
Pria yang adalah Purnawirawan Intelijen TNI, yang kini menjabat sebagai Direktur Media CNN dan Pers Nasional, dan juga menjabat sebagai Sabha Walaka di PHDI Kabupaten Jembrana ini, lebih jauh memaparkan, kisah di Desa Dukuh Penaban, Karangasem. Bahwa di Desa itu kini sampai memiliki Tari Canglongleng. Tari ini adalah mengisahkan ketika Dukuh Penaban mengalami Grubug. Lalu ada orang pintar di desa mendapat Pawisik untuk mengusir Grubug itu. Setelah dilakukan upacara Mecaru atau Suguhan, juga mengogong Ida Bhatara dengan busana Poleng (Hitam Putih), sambil bersorak-sorak 'Aahh...Iiihhh...Uuuhhh'. Dan setelah itu dilakukan, Grubug itupun hilang.
"Dari Lontar-Lontar, Kisah Rakyat, Ingatan Turun-Temurun, kita diajak untuk siap menghadapi masa kini dan masa depan, mengacu dari pengalaman para tetua kita di masa lampau. Gerubug pernah menyerang Bali. Gerubug pernah memporak-porandakan Bali, hingga mengajarkan kita untuk tidak melupakan pengalaman itu demikian saja. Karena ini adalah mengajarkan kita tetap tenang, pada situasi apapun dan dimanapun. Para tetua kita, telah banyak menurunkan konsep untuk menangkal Wabah, diantaranya dengan melakukan praktek Usada, Yoga atau olah gerak, sama dengan olah raga, juga menggelar Upacara-Upacara Sakral yang bersifat untuk memperoleh keselamatan artinya terbebas dari penyakit, wabah dan marabahaya, seperti misalnya Upacara Nangluk Merana. Upacara Nangluk Merana, tersurat dalam Lontar Purwaka Bumi tergolong jenis Bhuta Yadnya. Tujuan dilaksanakannya upacara Nangluk Merana oleh umat Hindu di Bali, adalah pada umumnya untuk memohon keselamatan Bali agar dijauhkan dari hal-hal yang negatif, terutama sejumlah bencana, seperti yang mewabah selama ini di Nusantara. Nangluk Merana biasanya dilaksanakan pada Sasih Kanem (bulan enam Kalender Bali) oleh umat Hindu di Bali. Kenapa pada Sasih Kanem karena secara faktual, Sasih Kanem merupakan musim Pancaroba, yakni peralihan dari musim kemarau ke musim hujan. Hujan yang turun pada Sasih Kanem lebih lebat dari pada hujan saat Sasih Kalima. Hingga musim Pancaroba tentu saja berdampak pada kondisi alam, hingga merebaknya aneka penyakit atau pun hama. Dengan adanya Upacara Nangluk Merana inilah, diharapkan dapat memberikan keselamatan lahir dan bathin.
Selain itu, ada juga Upacara Melukat dan Prayascita, yaitu pembersihan diri dan menjaga kesucian. Ada juga Mecaru, Tawur dan sebagainya termasuk melaksanakan Nyepi, dengan menggelar Catur Brata diantaranya, Amati Karya (Tidak Bekerja). Amati Geni (Tidak Menyalakan Api atau Amarah). Amati Lelungan (Tidak Bepergian), dan Amati Lelanguan (Tidak Berpesta juga Bersenang Senang, serta Tidak Berkumpul dengan Banyak Orang. Tidak Makan dan Tidak Minum, atau Berpuasa).
Kenapa harus melakukan Nyepi? Inilah satu konsep pesan jenius dari leluhur Bali, yang patut dicontoh dunia, untuk menjaga keharmonisan dan keselamatan alam semesta.
Jika dikaitkan dengan penyebaran Virus seperti Corona atau Covid-19 yang saat ini mewabah di Bumi Nusantara, tentu dengan Nyepi, pastinya kita dapat memutus rantai penyebaran Virus ini. Terbukti, Pemerintah mengimbau agar kita senantiasa menerapkan Protokol Kesehatan. Bahkan, semua Pemerintahan Negara di seluruh Dunia, menganjurkan kita untuk melakukan Lockdown", tentu ini sama saja dengan kita melakukan Nyepi Internasional", tutup Jro Mangku Suar
Ini artinya, para Leluhur Bali, jauh-jauh hari telah menyiapkan konsep yang begitu luar biasa kepada generasinya, bahkan untuk menjadi contoh dunia dalam mengatasi musibah, bahkan terhadap setiap Pendemi apapun yang terjadi. (Redaksi).