• Label

    Copyright © DETIK NUSANTARA NEWS
    Best Viral Premium Blogger Templates

    LOMBA KARAOKE

    LOMBA KARAOKE
    Ikuti dan Saksikan lomba karaoke nanti pada bulan Agustus 2025

    Ahli Waris Sri Dwi Joko Ajukan PK, Bongkar Dugaan Mafia Tanah di Pantai Takari

    Senin, 28 Juli 2025, Juli 28, 2025 WIB Last Updated 2025-07-28T07:51:40Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini



    Media DNN - Bangka | Perjalanan panjang sengketa lahan di kawasan Pantai Takari, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, kini memasuki babak baru. Sri Dwi Joko (almarhum) melalui ahli warisnya, Rahmat Widodo, resmi mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung Republik Indonesia atas perkara yang telah bergulir sejak tahun 2020. Senin (28/7/2025).

    Melalui kuasa hukum Armansyah S.S., S.H., permohonan PK diajukan ke Pengadilan Negeri Sungailiat pada 4 Juni 2025. Langkah hukum ini merupakan respons atas putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 5058 K/Pdt/2024 tanggal 14 November 2024 yang dinilai tidak sepenuhnya mencerminkan keadilan substantif, terutama bagi pihak ahli waris Sri Dwi Joko yang merasa telah dizalimi.


    "PK ini bukan semata langkah hukum biasa. Ini adalah ikhtiar terakhir untuk mencari keadilan yang sejati. Kami percaya Mahkamah Agung akan memutuskan berdasarkan hati nurani, bukan atas tekanan atau intervensi pihak manapun," tegas Armansyah saat dikonfirmasi.

    Dua Novum Kuat Jadi Dasar PK

    Dalam memori PK yang diajukan, tim hukum menghadirkan dua novum (bukti baru) yang dinilai cukup kuat untuk mengubah putusan sebelumnya.

    Pertama, lahan yang dikuasai oleh pihak Bu Dewi Hartati terbukti masuk dalam kawasan Pantai Takari, yang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.3924/MENLHK-PSKL/PSL.0/6/2018 tanggal 7 Juni 2018, ditetapkan sebagai tanah negara. Fakta ini mempertegas bahwa klaim kepemilikan atas lahan tersebut patut dipertanyakan secara hukum.


    Kedua, putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Pangkalpinang Nomor: 1/Prapid/2025/PN.Pkp terkait laporan polisi LP/B/89/V/2024 atas nama terlapor Yuli bin Jaharudin (almarhum) memperkuat dugaan adanya pemalsuan dokumen dalam proses jual beli atau klaim lahan. Dugaan ini terkait pasal 263 KUHP tentang pemalsuan tanda tangan dalam dokumen hukum.

    Kedua bukti baru ini diyakini menjadi dasar yang cukup kuat bagi Mahkamah Agung untuk meninjau kembali keseluruhan fakta dan putusan sebelumnya.

    Permintaan Pengawasan dari Lembaga Terkait

    Menyadari sensitivitas dan kompleksitas perkara ini, kuasa hukum Armansyah secara terbuka meminta perhatian dan pengawasan khusus dari sejumlah lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawas Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung RI, Kapolri, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.

    "Permintaan pengawasan ini bukan bentuk intervensi, tapi untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan adil, objektif, dan bebas dari praktik mafia tanah atau aparat yang menyalahgunakan kewenangan. Jangan sampai hukum ditunggangi kepentingan," ujarnya.

    Menurut Armansyah, praktik mafia tanah dalam perkara ini cukup mencolok. Ia menyebutkan bahwa surat tanah yang menjadi dasar klaim tidak terdaftar di Desa Rebo, Kecamatan Sungailiat, padahal secara fisik berada di kawasan Pantai Takari yang merupakan tanah negara. 

    “Bagaimana mungkin lahan negara bisa disertifikatkan dan disahkan melalui pengadilan tanpa dasar yang sah? Ini yang kami duga ada permainan pihak-pihak tertentu,” tandasnya.

    Mencari Keadilan Tegak Lurus dalam Negara Hukum

    Ahli waris almarhum Sri Dwi Joko, Rahmat Widodo, menyampaikan harapannya agar Mahkamah Agung RI memberi putusan yang adil, tidak hanya berdasarkan aspek legalitas, tetapi juga mempertimbangkan moralitas dan nurani hukum.

    "Kami bukan orang kaya atau punya kuasa. Kami hanya rakyat kecil yang selama ini merasa dizalimi. Kami percaya keadilan masih ada di negeri ini," ujar Rahmat Widodo.

    Kuasa hukum Armansyah menambahkan, prinsip hukum “Audi et alteram partem” atau “dengar juga pihak yang lain” harus menjadi landasan utama dalam proses peradilan. Demikian pula prinsip “Ubi jus ibi remedium” yang berarti “di mana ada hak, di situ ada perlindungan hukum.”

    "Kami hanya ingin Mahkamah Agung benar-benar mengkaji dan mengoreksi kembali perkara ini. Keputusan yang adil dari MA bukan hanya akan menjadi kemenangan klien kami, tetapi juga kemenangan atas praktik mafia tanah yang selama ini menghantui rakyat kecil," pungkas Armansyah.

    Kini, semua mata tertuju pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Akankah lembaga peradilan tertinggi ini menjawab harapan masyarakat kecil dan menegakkan keadilan seadil-adilnya? .(Joy/KBO Babel).
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini