masukkan script iklan disini
Gb. Ilustrasi.
Media DNN - Bali | Dunia jurnalistik kembali terusik dengan dilimpahkannya perkara dugaan pencemaran nama baik yang melibatkan seorang jurnalis, I Putu S, ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jembrana. Perkara yang sejak awal berkaitan erat dengan produk jurnalistik, kini berujung pada proses pidana. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kebebasan pers di Jembrana tengah berada di ujung tanduk.
Kasus ini bermula dari sebuah berita investigasi yang tayang di Media CMN, menyoroti dua dugaan pelanggaran serius:
Dugaan penyerobotan garis sempadan Sungai Ijogading oleh sebuah SPBU – yang belakangan telah dikonfirmasi melanggar oleh pihak Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida.
Pelanggaran tata ruang kota – meskipun SPBU tersebut mengantongi SKTR, namun ditengarai menyalahgunakan perjanjian peruntukan non-bisnis untuk mendirikan penginapan di bagian belakang.
Ironisnya, alih-alih ditindaklanjuti sebagai laporan publik, berita tersebut justru menyeret si penulisnya ke kursi pesakitan hukum.
Berita Dibuat Berdasar Konfirmasi, Nama Disamarkan
Dalam pemberitaan yang kini menjadi polemik, jurnalis I Putu S tidak menyebutkan nama asli pemilik SPBU. Ia menulis nama samaran Anik Yahya, padahal dalam izin-izin resmi nama pemilik tercatat sebagai inisial DS. Ini mempertegas bahwa tidak ada niat mencemarkan nama baik secara personal, apalagi menyerang secara langsung.
Kuasa hukum I Putu S, I Putu Wirata Dwikora, menjelaskan bahwa berita disusun berdasar informasi dari narasumber sah dan terverifikasi, termasuk Dinas PUPR, BPKAD, Owner SPBU yang saat itu didampingi manajernya, hingga instansi terkait lainnya. Artinya, I Putu S menjalankan prosedur jurnalistik sesuai kaidah.
“Bahkan ketika somasi datang, klien kami bersikap terbuka. Ia justru mengundang pihak pelapor untuk menggunakan hak jawab, agar berita bisa diluruskan bersama. Tapi sayangnya, pihak SPBU tidak hadir dalam pertemuan itu,” tegas Wirata.
Web Kadaluarsa, Barang Bukti Sudah Hilang Sebelum Disita
Saat ini, situs Media CMN tempat berita itu diterbitkan sudah tidak aktif karena masa domain berakhir. Dengan kata lain, berita yang dianggap mencemarkan nama baik sudah tidak dapat diakses bahkan sebelum ada penyitaan barang bukti.
Meski demikian, I Putu S tetap dinyatakan sebagai tersangka dan kini menjalani proses hukum, diduga melanggar Pasal 45 ayat (4) jo. Pasal 27A UU ITE. Pelimpahan perkaranya ke Kejari dilakukan Selasa (15/7/2025) setelah berkas dinyatakan lengkap.
Dimana Ruang Keadilan untuk Jurnalis?
Pernyataan I Putu S menunjukkan bahwa ia tetap menghormati proses hukum. Namun ada rasa keprihatinan mendalam yang ia sampaikan:
“Kami hanya menyuarakan keresahan publik. Kalau media tidak bisa menyampaikan informasi semacam ini, lalu siapa lagi yang akan menyuarakan? Bahkan sejengkal tanah pun belum bisa kami jaga, apalagi seluruh Jembrana,” ungkapnya penuh haru.
Ia juga menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Jembrana karena merasa belum mampu melindungi wilayah dari upaya upaya penyerobotan secara ilegal.
“Saya tidak menyangka, menyuarakan kebenaran bisa membuat kami duduk sebagai terdakwa. Ini bukan soal pribadi saya, tapi soal masa depan kebebasan pers di daerah,” tambahnya.
Suara Pers Terancam Dibungkam?
Kasus ini seakan menunjukkan bahwa ruang gerak jurnalis untuk menjalankan fungsi kontrol sosial semakin sempit. Ketika berita bersumber jelas, nama disamarkan, konfirmasi dilakukan, dan hak jawab telah diberikan – mengapa justru jurnalis yang dikriminalisasi?
Banyak pihak mulai mempertanyakan:
Apakah ini bentuk intimidasi terhadap pers? Apakah hukum hanya berpihak pada mereka yang punya kuasa?
Kondisi ini menjadi pukulan keras terhadap semangat kemerdekaan pers, sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Harapan Akan Keadilan Masih Ada
Meski kecewa, I Putu S dan tim hukumnya tetap berharap proses di pengadilan dapat mengungkap kebenaran dan membuktikan bahwa ini adalah produk jurnalistik, bukan niat jahat. Mereka percaya, pembelaan terhadap kebenaran tidak boleh dikalahkan oleh tekanan atau kekuasaan.
“Kami percaya, keadilan masih ada. Dan kami akan terus berjuang untuk memastikan suara media tidak dibungkam,” tutup I Putu S.
Catatan: Kasus ini menjadi pengingat bahwa perlindungan terhadap jurnalis tidak hanya berbicara soal individu, tapi soal hak publik atas informasi yang benar. Bila jurnalis dipenjara karena menjalankan tugasnya, maka siapa yang akan menyuarakan kebenaran di masa depan?
(Red).