-->
  • Label

    Copyright © DETIK NUSANTARA NEWS
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Diduga Cut and Fill Ilegal di Kabil, Warga Tersiksa Debu dan Lumpur Pejabat diam?

    Rabu, 05 November 2025, November 05, 2025 WIB Last Updated 2025-11-05T14:08:38Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini



    Media DNN - Batam | Aktivitas cut and fill di kawasan Jalan Hang Kesturi, Kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, kembali menjadi sorotan publik. Berdasarkan laporan masyarakat Adanya, proyek yang diduga milik PT. Sarana usaha gemilang (SUG) ini diduga berlangsung tanpa papan informasi resmi, melanggar aturan keterbukaan pelaksanaan kegiatan. Tak hanya itu, dampak lingkungan mulai dirasakan, seperti timbunan lumpur dan debu di badan jalan yang mengganggu pengguna jalan dan menimbulkan keresahan.

    Ketidaktertiban dalam pelaksanaan proyek ini memunculkan tanda tanya besar terkait legalitas kegiatan, pengawasan dari instansi teknis, serta potensi pelanggaran terhadap tata ruang dan perlindungan lingkungan. Masyarakat mendesak BP Batam, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), serta aparat penegak hukum untuk segera turun ke lokasi, 

    "Lebih mencengangkan lagi,dalam proses investigasi di lapangan, seorang sopir truk pengangkut tanah (dump truck) yang berhasil dimintai keterangan oleh awak media, secara terbuka mengungkapkan bahwa muatan tanah hasil aktivitas cut and fill tersebut dikirim langsung ke wilayah Tanjung Uma, Kota Batam.senin (5/11/2025)

    Pernyataan ini tentu menambah kecurigaan publik, sebab wilayah Tanjung Uma dikenal sebagai salah satu kawasan pesisir yang rentan terhadap aktivitas penimbunan ilegal, terutama di bibir pantai dan sekitar ekosistem mangrove. Jika distribusi tanah ini benar-benar ditujukan untuk penimbunan kawasan pesisir tanpa izin resmi, maka aktivitas tersebut tidak hanya melanggar aspek legalitas tata ruang dan lingkungan hidup, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai bentuk perusakan ekosistem pesisir yang dilindungi undang-undang.

    Keterangan sopir ini juga memperkuat dugaan bahwa terdapat pola distribusi sistematis yang dilakukan oleh pihak pengelola proyek, namun beroperasi di luar mekanisme dan pengawasan instansi terkait. Hal ini menuntut adanya langkah cepat dari pihak BP Batam, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), serta aparat penegak hukum untuk menelusuri alur distribusi tanah dan memeriksa legalitas tujuan penggunaannya.

    Minimnya transparansi, tidak adanya papan informasi proyek, serta dugaan kuat pengalihan material ke zona pesisir tanpa izin menunjukkan adanya potensi pelanggaran serius yang harus segera dihentikan sebelum menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih luas.

    Diketahui, "aktivitas reklamasi di pesisir Tanjung Uma," Kota Batam diduga kuat melibatkan dua entitas: "PT Limas Raya Griya selaku pengembang, dan "PT sarana usaha gemilang" yang disebut-sebut mengendalikan distribusi "material timbunan berupa tanah galian C ilegal". Dugaan ini menguat karena tidak adanya kejelasan legalitas, baik dari sisi izin reklamasi maupun asal-usul material yang digunakan.

    Berdasarkan penelusuran dan informasi dari berbagai sumber di lapangan, keterlibatan dua entitas tersebut mengarah pada dugaan adanya "praktik reklamasi liar" yang dijalankan tanpa melalui prosedur resmi dan tanpa izin yang sesuai dengan peraturan tata ruang, lingkungan, serta perizinan galian material. "Praktik distribusi tanah timbun yang diduga berasal dari aktivitas cut and fill ilegal" semakin memperkuat indikasi bahwa proyek reklamasi ini beroperasi di luar pengawasan ketat dari otoritas seperti BP Batam, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), dan Ditreskrimsus Polda Kepri.

    "Ketidakhadiran plang proyek", minimnya keterbukaan informasi publik, dan "ditemukannya pola distribusi material tanah" dari kawasan Hang kesturi Kabil menuju titik-titik reklamasi di pesisir Tanjung Uma, mencerminkan sebuah aktivitas terstruktur namun berlangsung dalam bayang-bayang ketertutupan. Indikasi bahwa tanah timbunan berasal dari aktivitas galian C ilegal mempertegas urgensi penegakan hukum yang tegas dan menyeluruh.  

    Aktivitas seperti ini tidak hanya mencederai aturan perizinan, tetapi juga "menyisakan jejak kehancuran ekologis", termasuk "rusaknya habitat pesisir, meningkatnya potensi abrasi pantai", hingga penghilangan kawasan konservasi mangrove yang seharusnya dilindungi. Fenomena ini menjadi "cermin lemahnya pengawasan dan potensi pembiaran oleh otoritas", yang jika dibiarkan, bisa mengarah pada kerusakan lingkungan jangka panjang dan praktik mafia tanah yang terorganisir.

    Dalam konteks regulasi, aktivitas penggalian dan reklamasi tanpa izin yang diduga dilakukan oleh "PT Limas Raya Griya" dan "PT sarana usaha gemilang" tidak hanya mencederai prinsip tata kelola lingkungan hidup, tetapi juga berpotensi melanggar sejumlah ketentuan hukum yang tegas. Antara lain:

    - Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL harus memiliki izin lingkungan.

    - Pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009, menyebutkan bahwa pelaku usaha tanpa izin lingkungan dapat dipidana penjara 1–3 tahun dan denda hingga Rp3 miliar.

    - PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan adanya kajian lingkungan dan persetujuan pemerintah pusat dalam kegiatan reklamasi, terutama di kawasan pesisir atau mangrove.

    Tindakan yang terindikasi sebagai bagian dari praktik "mafia tanah"—seperti penguasaan dan distribusi tanah timbun tanpa izin, manipulasi dokumen, serta pelibatan aktor swasta dalam reklamasi ilegal—perlu ditindaklanjuti dengan tegas oleh aparat penegak hukum. Pemerintah dan APH harus melakukan "audit menyeluruh dan penindakan hukum terukur", untuk membongkar jaringan mafia tanah serta mencegah rusaknya kawasan pesisir yang memiliki nilai strategis dan ekologis tinggi bagi Kota Batam. (FS).
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini