masukkan script iklan disini
Media DNN - Batam | Aktivitas cut and fill di Jalan Hang Kesturi, Kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa, Batam, kembali disorot publik. Proyek yang diduga milik PT Sarana Usaha Gemilang (SUG) ini dilaporkan berlangsung tanpa papan informasi resmi, melanggar prinsip keterbukaan. Dampak lingkungan mulai terasa, seperti lumpur dan debu di badan jalan yang mengganggu warga dan pengguna jalan.
"Tindakan ini jelas menyalahi"aturan Ketidak tertiban pelaksanaan proyek ini memicu pertanyaan serius soal legalitas, pengawasan instansi terkait, dan potensi pelanggaran tata ruang serta lingkungan. Warga mendesak BP Batam, DLH, dan aparat penegak hukum segera turun tangan untuk bertindak.
Lebih mengejutkan, hasil investigasi lapangan mengungkap pengakuan sopir dump truck yang menyebut tanah hasil cut and fill dikirim ke wilayah Tanjung Uma, Batam, pada rabu (5/11/2025).
"Tak hanya itu"Pernyataan sopir memperkuat kecurigaan publik, apalagi tanah dibawa ke Tanjung Uma—kawasan pesisir yang rawan penimbunan ilegal. Jika benar digunakan untuk reklamasi tanpa izin, aktivitas ini tak hanya melanggar hukum tata ruang dan lingkungan, tapi juga merusak ekosistem mangrove yang dilindungi.
Temuan ini mengindikasikan adanya distribusi sistematis di luar kendali otoritas resmi. BP Batam, DLH, dan aparat penegak hukum didesak segera menyelidiki jalur distribusi dan legalitas penggunaan tanah tersebut.
Minim transparansi, tanpa papan proyek, dan dugaan kuat pengalihan material ke pesisir tanpa izin mengindikasikan pelanggaran serius. Aktivitas reklamasi di pesisir Tanjung Uma diduga melibatkan PT Limas Raya Griya sebagai pengembang dan PT Sarana Usaha Gemilang sebagai pengendali distribusi tanah galian ilegal. Ketiadaan izin reklamasi dan asal-usul material yang tak jelas memperkuat dugaan pelanggaran hukum dan dapat dijerat dengan undang-undang ancaman kerusakan lingkungan.
Berdasarkan penelusuran lapangan, kuat dugaan praktik reklamasi liar tengah berlangsung di pesisir Tanjung Uma. Dua entitas—PT Limas Raya Griya dan PT Sarana Usaha Gemilang—terindikasi menjalankan proyek tanpa izin tata ruang, lingkungan, maupun legalitas material. Tanah timbun diduga berasal dari aktivitas cut and fill ilegal di kawasan Hang Kesturi, Kabil. Tidak adanya papan proyek, minimnya transparansi, serta pola distribusi material yang terstruktur namun tersembunyi, menunjukkan operasi ini berjalan di luar pengawasan BP Batam, DLH, dan Ditreskrimsus. Kondisi ini menuntut penegakan hukum yang cepat, tegas, dan menyeluruh.
Aktivitas penggalian dan reklamasi tanpa izin yang diduga dilakukan oleh PT Limas Raya Griya dan PT Sarana Usaha Gemilang tak hanya melanggar aturan, tapi juga menyisakan jejak kerusakan ekologis—mulai dari rusaknya habitat pesisir, meningkatnya risiko abrasi, hingga hilangnya kawasan mangrove yang dilindungi. Fenomena ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan potensi pembiaran dari otoritas.
Secara hukum, kegiatan ini berpotensi melanggar:
-Pasal 36 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009: mewajibkan setiap usaha berkewajiban memiliki izin lingkungan.
-Pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009: pelaku usaha tanpa izin lingkungan dapat dipidana 1–3 tahun penjara dan denda hingga Rp3 miliar.
-PP No. 22 Tahun 2021: reklamasi wajib memiliki kajian lingkungan dan persetujuan pemerintah, khususnya di kawasan pesisir.
Jika dibiarkan, praktik ini bukan hanya merusak lingkungan, tapi juga membuka jalan bagi mafia tanah dan pengabaian hukum yang sistematis.
Indikasi praktik *mafia tanah* melalui penguasaan dan distribusi tanah timbun ilegal, manipulasi dokumen, serta keterlibatan pihak swasta dalam reklamasi tanpa izin, harus segera ditindak tegas.
Wakil Wali Kota "Ibu Claudia Chandra", "Kapolda Kepri", serta "Ditreskrimsus Polda Kepri" didesak turun tangan bersama pemerintah untuk melakukan "audit menyeluruh dan penindakan hukum terukur".
Langkah ini penting untuk membongkar jaringan mafia tanah dan menyelamatkan kawasan pesisir Batam yang memiliki nilai strategis dan ekologis tinggi. (FS).
